Saya mungkin bisa digolongkan ke dalam kelompok orang yang beruntung. Mengapa? Karena sewaktu kecil, sebelum tidur ayah-ibu saya sering (bukan selalu!) membacakan satu-dua buah cerita. Saya sebut beruntung karena sebetulnya saya lahir di keluarga pekerja. Ayah dan ibu saya termasuk orang tua yang sibuk bekerja. Namun di sela-sela kesibukan dan rasa lelah, mereka menyempatkan diri membacakan dongeng untuk saya dan kakak saya. Sejujurnya, itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Rasa hangat karena mendengar suara ayah yang lucu atau ibu yang berusaha menjadi selucu ayah, entah mengapa masih begitu membekas hingga sekarang. Saya juga belajar banyak tentang kehidupan dari dongeng-dongeng yang saya dengar, bahkan sebelum saya masuk TK! Cerita favorit saya adalah Itik Buruk Rupa karya HC Andersen. Sebagai seorang anak yang masih kecil, saya meneteskan air mata saat mendengar si itik disia-siakan dunia. Namun, saya pun ikut berbangga saat itik kemudian berubah menjadi angsa yang gagah di akhir cerita. Saat itu juga saya menyimpulkan bahwa setiap anak memiliki keindahannya masing-masing. Dan bisa dikatakan, cerita itu telah membantu saya tumbuh dengan kepercayaan diri lebih baik. Yang menyedihkan, peran orang tua saat ini tergeser oleh gadget. Para orang tua lebih senang mengunduh atau menyambungkan gadget anak mereka ke internet, lalu membuat anak-anak mereka menonton sendiri dongeng di Youtube. Tak ada lagi suara ayah/ibu yang lucu. Padahal kemajuan teknologi bukan berarti menggeser kebutuhan anak akan kehangatan keluarga. Sejak dulu hingga sekarang, anak-anak pasti merindukan saat bercengkrama bersama kedua orang tuanya. Buktinya, sebuah penelitian di Inggris terhadap 500 anak berusia 3-8 tahun, menemukan bahwa 2/3 anak menginginkan orang tuanya membacakan cerita sebelum mereka tidur.1 Nah!