Ale, seorang pria berbadan bongsor yang ditolak oleh masyarakat sosial. Tiga puluh tujuh tahun usianya, dia hidup tanpa berteman dan tanpa makna. Ale didiagnosa oleh psikiater mengidap depresi. Di tempat kerjanya, dia tak memiliki rekan dekat, bahkan cenderung dijauhi. Ia punya masalah dengan bau badan karena tubuhnya yang besar lebih sering menghasilkan keringat. Bukannya ia tidak peduli, ia peduli. Ale telah berusaha mengatasi masalah-masalah yang timbul dari dirinya agar ia diterima di lingkar pertemanan. Namun usahanya tidak pernah berhasil. Bahkan keluarganya pun tidak mendukungnya saat Ale membutuhkan sandaran dan dukungan. Ale memutuskan untuk mati. Ia mempersiapkan kematiannya dengan baik. Agar ketika mati pun, Ale tidak banyak merepotkan orang. Ia meng-set waktu 24 jam sebelum mati. Ia sudah berencana menelan obat yang dia punya sekaligus satu telanan. Namun saat mendekati detik terakhir, Ale melihat label pada botol obatnya, anjuran untuk makan dulu sebelum minum obat. Seketika Ale berpikir untuk makan dulu sebelum mengakhiri hidupnya. Setidaknya, itu akan menjadi satu-satunya keputusan yang bisa dia ambil atas kehendaknya sendiri. Namun, rupanya mie ayam yang hendak Ale beli, tidak jualan. Tutup. Rencana Ale untuk mati harus tertunda. Namun ia tetap bertekad untuk mati, setelah makan seporsi mie ayam.